Menaklukkan Gunung Salak
Pagi itu, sekira pukul sembilan, Sabtu, 26 November 2022, lima pemuda berusia 25 tahunan tiba di pos pendakian Gunung Salak via Cimalati di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Kelimanya adalah Bakti Budiman, Budi Permana Putra, Disan Subagja, Subur Wijaya, dan saya Oksa Bachtiar Camsyah, penulis artikel ini.
Berperalatan lengkap seperti pendaki lain, kami bersiap menaklukkan Puncak Manik atau Puncak Salak 1 yang berdiri gagah setinggi 2.211 meter di atas permukaan laut dengan menapaki jalur pendakian Cimalati yang konon cukup ekstrem bagi pendaki pemula, atau setidaknya bagi kelima pemuda yang tak terlampau sering mendaki gunung ini.
Masing-masing tas carrier berisi peralatan pribadi seperti sleeping bag (kantung tidur), matras, jaket, hingga peralatan kelompok semacam tenda, kompor, bahan makanan termasuk air minum kemasan botol satu liter, dan logistik pendakian lainnya, dibawa sebagai bekal mencapai puncak. Tentu, beratnya tas ini menjadi beban tambahan selama pendakian.
Setelah menyelesaikan persyaratan administrasi di pos pendakian, kami mulai berjalan menjejaki jalur Cimalati yang dibuka dengan tangga tembok. Menurut orang-orang, pendakian via jalur ini menjadi alternatif terbaik lantaran jaraknya yang lebih pendek dan medannya tidak terlalu curam ketimbang dua jalur lainnya: Cidahu/Javana Spa dan Pasir Reungit.
Tetapi, bagi kelima pendaki yang baru pertama kali mendaki Gunung Salak, trek Cimalati cukup menyulitkan dan menguras tenaga. Kondisi ini ditambah rencana kami yang semula tak menjadikan Gunung Salak sebagai pilihan. Kami yang berasal dari Sukabumi ini awalnya berniat mendaki Gunung Gede yang kemudian ditutup sementara pascagempa bumi 5.6 magnitudo mengguncang Cianjur pada 21 November 2022.
Sejak mulai mendaki sekira pukul sepuluh pagi, kami berlima sepakat bakal melakukan pendakian senyaman mungkin: akan beristirahat jika salah satu dari lima orang meminta istirahat, tidak akan memaksakan atau menargetkan pukul berapa tiba di puncak. Tujuan terakhir adalah kembali ke rumah dengan selamat.
Kesibukan aktivitas kerja membuat kami tidak sempat mengistirahatkan tubuh sebelum mendaki. Rata-rata, hingga Jumat malam kami masih bekerja, bahkan pada Sabtu pagi, Bakti dan Subur berangkat ke pos pendakian dari tempat mereka bekerja di Bekasi dan Bogor.
Syahdan, setelah kurang lebih dua jam melewati jalur tembok lalu berubah lintasan tanah yang tak terlalu menanjak namun sudah melelahkan, kami tiba di Pos 2.
Ada enam pos di jalur pendakian Gunung Salak via Cimalati. Dan, Pos 2, merupakan pos yang lahannya paling luas di antara pos lainnya. Kami tak menemukan di mana letak Pos 1, hanya melewati persimpangan menuju Curug Citaman, tak jauh dari pos pendakian.
Di Pos 2 kami beristirahat sambil memakan kudapan yang dibawa. Tak ada rombongan pendaki lain yang ditemui sejak pos pendakian hingga Pos 2, baik yang berangkat maupun turun. Hanya kami berlima, pendaki yang berharap trek setelah Pos 2 tidak menyulitkan.
Seusai berkemas, saya, Bakti, Budi, Disan, dan Subur, melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Tak sesuai harapan, trek menuju Pos 3 ternyata, menurut kami, lebih berat dari trek sebelumnya. Tetapi, jarak Pos 2 ke Pos 3 tidak terlalu jauh. Ini membuat kami memutuskan tak beristirahat di Pos 3 dan langsung menuju Pos 4.
Nasib kurang beruntung dialami kami tatkala harus menempuh perjalanan panjang dengan medan ekstrem menuju Pos 4. Trek menanjak, tak ada jalur datar atau landai, mesti dilewati dengan sangat hati-hati karena beberapa kali kaki hanya berpijak pada akar pohon atau tanah berlumpur yang licin akibat hujan semalam.
Saya dan Budi yang berada paling belakang beberapa kali meminta istirahat lantaran merasa lelah. Kondisi serupa juga dialami tiga orang lainnya. Kelelahan ini juga dipicu kami berlima yang melewatkan jam makan siang karena berharap bisa memasak dan makan siang di Pos 4 dalam waktu yang tak lama dari Pos 3.
Maklum, belum pernah ada dari kami yang mendaki Gunung Salak, termasuk via Cimalati, sehingga kurang tepat mengestimasikan waktu untuk beristirahat dan makan siang. Alhasil, kami baru bisa makan siang sekira pukul empat sore saat tiba di Pos 4.
Di antara perjalanan dari Pos 3 ke Pos 4, rombongan pendaki kami bertemu kelompok pendaki lain yang mendirikan tenda di lahan sekitar jalur pendakian. Kelompok pendaki ini juga berniat ke puncak, namun mereka memilih menginap terlebih dahulu di jalur pendakian, baru esok hari menuju puncak.
Pepohonan yang rapat melindungi kami saat beristirahat di Pos 4. Beruntung, saat itu cuaca cukup bersahabat, tidak hujan dan tidak terlalu terik. Kompor portabel pun dinyalakan Subur untuk mulai memasak menu makan siang. Beberapa juga menyeduh kopi maupun teh untuk sekadar mengembalikan tenaga yang sudah habis menuju Pos 4.
Selepas satu jam istirahat, makan siang yang tertunda, dan menunaikan salat, kami beranjak menuju Pos 5. Rencananya, kami akan mendirikan tenda dan bermalam di Pos 5 atau 6, baru besoknya menuju puncak.
Dari Pos 4, trek yang kami lalui lebih ekstrem dari sebelumnya. Kami benar-benar harus pintar mengatur ritme perjalanan supaya tidak mudah lelah. Tanjakan dengan kemiringan yang cukup menguji mental ditambah kontur jalan tanah licin serta sesekali berakar dan berliku, menjadi satu-satunya pilihan. Kondisi hari juga semakin gelap pertanda malam akan tiba.
Sekadar diketahui, pendakian Gunung Salak via Cimalati merupakan jalur yang baru diresmikan beberapa tahun lalu oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Namun sebelumnya, jalur ini sudah biasa digunakan penduduk sekitar untuk menziarahi petilasan di Puncak Salak 1.
Jalur via Cimalati juga menjadi salah satu akses evakuasi kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 (SSJ) yang jatuh menabrak tebing Gunung Salak pada 9 Mei 2012. Awak pesawat dan penumpang yang berjumlah 45 orang tewas dalam kecelakaan pesawat yang sedang melakukan terbang demo (demo flight) dari Bandara Halim Perdanakusuma itu.
Kembali ke cerita, sekira waktu Magrib, sebelum Pos 5, kami menghentikan perjalanan dan bertemu rombongan pendaki lain yang akan turun setelah melakukan pendakian tektok. Saat itu matahari sudah terbenam sehingga kami mengandalkan headlamp untuk memastikan tetap berada di punggungan gunung menuju puncak.
Pendakian malam dengan medan terjal bukan hal mudah. Beberapa kali kami berhenti, memastikan semuanya dalam keadaan baik. Bakti berjalan di barisan paling depan, diikuti Disan, Budi, saya, lalu Subur. Udara mulai terasa dingin seraya posisi kami yang sudah semakin tinggi. Tetapi, vegetasi pepohonan masih rapat dan belum ada tanda-tanda puncak sudah dekat.
Sebelum pukul tujuh malam, kami menemukan Pos 5. Tak berhenti sama sekali, kami bergegas menuju pos terakhir yakni Pos 6.
Maksud hati ingin mempercepat langkah lantaran tak mau terlalu malam di dalam hutan, tidak sejalan dengan kondisi fisik yang sudah mulai menurun. Trek bebatuan nan licin menjadi tantangan lain untuk bisa segera tiba di Pos 6 atau bahkan langsung menuju puncak.
Kami tak sempat melihat waktu pukul berapa tiba di Pos 6. Langsung menuju puncak menjadi satu-satunya pilihan karena tak mungkin mendirikan tenda di Pos 6 yang lahannya sudah berlumpur. Kami fokus memperhatikan jalur pendakian sambil sesekali menengadah berharap Puncak Salak 1 semakin dekat.
Masih dalam suasa hutan lebat disertai tiupan angin yang semakin kencang, lintasan menuju puncak kadang berupa batuan besar. Pada satu momen, bahkan kami harus melewati bebatuan licin menggunakan bantuan tali yang sudah tersedia. Satu per satu kami naik, dibantu yang sudah lebih dulu berada di atas.
Akhirnya, sekira pukul setengah sembilan malam, muncul tepat di depan kami, makam Mbah Gunung Salak, pertanda kami sudah tiba di Puncak Gunung Salak 1 dengan ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut. Saat itu, ada dua tenda yang sudah berdiri.
Setelah melakukan selebrasi sewajarnya dan tidak lama, kami mendirikan tenda lalu memasak dan makan malam. Lelah bercampur hawa dingin membuat kami memutuskan tidur cepat supaya besok pagi bisa menikmati panorama indah di atas puncak Gunung Salak dengan kondisi badan yang sudah semakin baik.
Lanskap pemandangan dari puncak Gunung Salak mungkin tak seindah tetangganya: Gunung Gede Pangrango. Tetapi, apa yang kami lihat pada Minggu pagi, mungkin sekira pukul enam— selepas bangun tidur dan beres-beres sisa makanan semalam — sungguh memanjakan mata.
Megahnya Gunung Gede Pangrango terlihat dari Puncak Salak 1 yang saat itu didukung cuaca cerah seiring matahari menyembul dari balik awan. Wilayah Bogor, pegunungan di Banten, bahkan gedung-gedung pencakar langit ibu kota, turut melengkapi kekaguman kami yang berdiri di atas gagahnya Gunung Salak melihat keteraturan semesta yang diciptakan Tuhan.
Setelah memotret beberapa objek menarik, kami langsung menyiapkan makan pagi. Tentu, ini penting karena beberapa jam ke depan akan kembali menghadapi medan curam untuk pulang menuju pos pendakian. Meski tak seberat saat mendaki, namun perjalanan pulang tetap memerlukan tenaga dan konsentrasi yang baik.
Seusai membereskan semua perlengkapan, termasuk sampah-sampah sisa makanan, kami bersiap turun. Sekira pukul sembilan, kami mulai melakukan perjalanan, melewati lintasan yang kami lalui semalam. Singkatnya, kami berhasil tiba di pos pendakian sekira pukul setengah tiga sore dalam kondisi selamat.
Saat di Puncak Salak 1, kami merasakan guncangan gempa sekitar lima detik. Setelah turun ke pos pendakian dan menyalakan internet untuk mencari informasi, ternyata guncangan itu adalah gempa bumi berkekuatan 3.5 magnitudo yang terjadi pada Minggu, 27 November 2022 pukul 07.21 WIB. Gempa dangkal dengan kedalaman 10 kilometer ini berpusat di wilayah Cibadak dan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi.